Jumat, 21 Juni 2013

Artikel : Tarik Ulur Kenaikan BBM

Tarik Ulur Kenaikan BBM

 photo img_56511.jpg
Juni 2013, kembali rakyat digonjang ganjingkan oleh rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Alasan pemerintah senada dengan alasan sebelumnya, bahwa dirasa subsisdi BBM telah membebani APBN Negara sehingga perlu sedikit demi sedikit dikurangi dengan demikian secara otomatis menaikkan harga eceran BBM dipasaran. Pemerintah memandang bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan bermobil yang dianggap lebih mempunyai kemampuan ekonomi  jika dibandingkan dengan kalangan masyarakat umum. Pemerintah berasumsi bahwa dengan subsidi BBM dan mengalihkan dana tersebut kepada program BLSM yang dikucurkan kepada masyarakat kelas bawah, akan lebih mengenai sasaran dan mendefinisikannya sebagai “penyelamatan uang rakyat”.

 photo miskin.jpg
Padahal jika kita dapat mencermati, siapakah yang paling menangisi dampak dari kenaikan BBM tersebut? Naiknya harga BBM sebagai komponen dasar perekonomian akan berdampak tidak hanya kepada komponen yang berhubungan langsung dengan BBM seperti ongkos angkutan dan harga bensin & solar, namun lebih besar dampaknya pada peningkatan biaya ongkos produksi dan distribusi barang – barang  baik primer maupun sekunder. Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa harga barang – barang kebutuhan pokok yang langsung bersentuhan dengan perut rakyat akan mengalami peningkatan. Bagi kalangan bermobil mengkilat, walaupun harga BBM menjadi 20.000 rupiah perliter, mereka masih sanggup membelinya karena mereka memang memiliki anggaran lebih untuk itu. Berapapun naiknya harga kebutuhan pokok, mereka masih mampu untuk memilih membeli komoditi dengan kualitas terbaik walaupun dengan harga yang lebih mahal. Mereka masih punya anggaran untuk kebutuhan – kebutuhan sampingan yang dapat dikategorikan sebagai kemewahan seperti biaya rekreasi, gadget mewah, perawatan tubuh, dan sebagainya.

 photo images2.jpg
Namun bagaimana dengan nasib masyarakat yang selama ini hanya mampu membeli barang – barang kebutuhan pokok dengan harga komoditas termurah? Menyisihkan rupiah demi rupiah untuk membiayai anak sekolah, memilih berjalan kaki demi menghemat ongkos angkutan, hanya mampu membeli sebungkus mie instan dengan kuah melimpah sebagai lauk makan sekeluarga setiap harinya. Apa yang akan terjadi dengan orang – orang yang hanya mampu mengais – ngais serupiah demi serupiah dari pekerjaan yang dijalaninya, yang sudah pasti bukan pegawai negeri atau pegawai kantoran swasta. Mereka memang tidak memiliki mobil mengkilat yang selama ini dijadikan tersangka sebagai dasar pencabutan subsidi BBM, namum merekalah yang paling akan menangis dengan naiknya harga barang – barang kebutuhan pokok. Jika selama ini mereka mampu makan 3 kali sehari, mungkin akhirnya harus berhemat dengan hanya makan 2 kali sehari. Namun bagaimana dengan mereka yang selama ini hanya mampu makan 1 kali sehari? Apakah BLSM sejumlah 150.000 rupiah sebulan mampu mengatasi hal tersebut? Apalagi BLSM yang akan dikucurkan hanya dianggarkan untuk 4 bulan. Bagaimana setelah 4 bulan tersebut? Apakah kenaikan harga BBM hanya akan berlaku selama 4 bulan dan akan kembali normal setelah 4 bulan tersebut?

 photo 20120308_Demo_BBM_Bajak_Truk_Tanki_Pertamina.jpg
Maka, ramailah aksi protes yang menentang kenaikan harga BBM tersebut. Tidak hanya dijalanan namun hingga kedalam gedung parlemen. Polemik kenaikan harga BBM menjadi komoditas hangat dalam tarik menarik bargaining politik partai – partai berkuasa di parlemen menjelang tahun PEMILU 2014. Beberapa pihak memposisikan diri berada dipihak rakyat dengan menyatakan menolak kebijakan pemerintah tersebut, namun tetap kukuh bertahan sebagai bagian didalam pemerintahan tersebut. Tentu saja ini menimbulkan banyak kebingungan bagi kalangan yang hanya bertindak sebagai penonton dari panggung dagelan politik tersebut. Kericuhan menular hingga ditingkat bawah bukan dalam mendukung atau menolak kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM namun dalam konteks mendukung atau tidak mendukung kelompok politik yang menyatakan diri menolak kebijakan pemerintah tersebut. Dibeberapa media sosial, para pendukung partai saling berdebat membela kebijakan partai masing – masing yang baru sebatas “wacana” dan belum mengarah pada tindakan nyata dalam merealisasikan penyataan sikap mereka tersebut. Rakyat kembali diharuskan menonton pihak – pihak yang saling mencakar untuk kepentingan politik masing – masing sambil mengencangkan ikat pinggang untuk meredam lapar akibat dari penghematan.

 photo 85970_ricuh_paripurna_pansus_angket_century_641_452.jpg
Mencermati hal tersebut, sudah jelaslah bahwa bangsa kita sedang berada dalam titik nadir. Pemerintah dan rakyat sama – sama sedang berasa dalam kondisi krisis yang semakin mengkritis. Jika saja pemerintah bisa tegas dalam mengambil kebijakan dan tidak termangun dalam kebimbangan menimbang – nimbang untung rugi poltik dalam memutuskan suatu kebijakan, maka polemik tidak akan menyeret masyarakat untuk ikut terlibat dalam pusaran tarik – menarik kepentingan bargaining politik dalam konteks subsidi BBM. Jika memang pemerintah memandang bahwa subsidi BBM ini telah membebani APBN Negara dan BLSM benar – benar sebagai sebuah solusi dalam mengobati dampak dari kenaikan BBM, bukan hanya sekedar balsem peredam nyeri dari dampak kenaikan BBM, maka segera putuskanlah untuk naik. Karena semakin ditunda dan diulur kebijakan tersebut, maka semakin beratlah membebani APBN Negara. Bagi para kelompok pelaku politik, jika memang mereka bertindak sebagai wakil rakyat yang mengutamakan kepentingan rakyat, alangkah baiknya jika sikap mereka dinyatakan dengan sebuah tindakan bukan hanya sebatas wacana yang dilemparkan untuk kepentingan tertentu. Bagi semua pihak yang menentang kenaikan BBM atas nama rakyat, alangkah baiknya jika aksi protes tersebut dapat berjalan dengan tertib dan damai sehingga tidak kembali membawa kerugian bagi rakyat sendiri. Karena setiap fasilitas umum dan fasilitas Negara, dibiayai dengan pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Sumber keuangan negara adalah dari rakyat. Setiap pengrusakan yang terjadi harus ditanggung oleh rakyat sendiri.

 photo poto-orang-miskin1.jpg
Pemerintah, sebagai pihak yang berwenang dalam mengatur pengelolaan BBM sebagai hajat hidup orang banyak, diharapkan bisa lebih bijaksana dalam mengambil sebuah kebijakan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar mayoritas masyarakat. Karena kalangan bermobil mengkilat tidak akan ikut turun kejalan memprotes kenaikan harga BBM tersebut. Karena mereka masih cukup memiliki kemampuan ekonomi untuk emngatasi hal tersebut. Semoga semua pihak dapat lebih bijaksana dan berfikir secara obyektif dalam menyingkapi masalah ini dengan mengutamakan kepentingan rakyat yang sebenar –benarnya rakyat. Tidak hanya rakyat dari golongan tertentu.