Tarik Ulur Kenaikan BBM
Juni 2013, kembali rakyat digonjang
ganjingkan oleh rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Alasan pemerintah
senada dengan alasan sebelumnya, bahwa dirasa subsisdi BBM telah membebani APBN
Negara sehingga perlu sedikit demi sedikit dikurangi dengan demikian secara
otomatis menaikkan harga eceran BBM dipasaran. Pemerintah memandang bahwa
subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan bermobil yang dianggap lebih
mempunyai kemampuan ekonomi jika
dibandingkan dengan kalangan masyarakat umum. Pemerintah berasumsi bahwa dengan
subsidi BBM dan mengalihkan dana tersebut kepada program BLSM yang dikucurkan
kepada masyarakat kelas bawah, akan lebih mengenai sasaran dan
mendefinisikannya sebagai “penyelamatan uang rakyat”.
Padahal jika kita dapat mencermati,
siapakah yang paling menangisi dampak dari kenaikan BBM tersebut? Naiknya harga
BBM sebagai komponen dasar perekonomian akan berdampak tidak hanya kepada komponen
yang berhubungan langsung dengan BBM seperti ongkos angkutan dan harga bensin
& solar, namun lebih besar dampaknya pada peningkatan biaya ongkos produksi
dan distribusi barang – barang baik
primer maupun sekunder. Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa harga
barang – barang kebutuhan pokok yang langsung bersentuhan dengan perut rakyat akan
mengalami peningkatan. Bagi kalangan bermobil mengkilat, walaupun harga BBM
menjadi 20.000 rupiah perliter, mereka masih sanggup membelinya karena mereka
memang memiliki anggaran lebih untuk itu. Berapapun naiknya harga kebutuhan
pokok, mereka masih mampu untuk memilih membeli komoditi dengan kualitas
terbaik walaupun dengan harga yang lebih mahal. Mereka masih punya anggaran
untuk kebutuhan – kebutuhan sampingan yang dapat dikategorikan sebagai
kemewahan seperti biaya rekreasi, gadget mewah, perawatan tubuh, dan sebagainya.
Namun bagaimana dengan nasib masyarakat yang selama ini hanya mampu membeli barang – barang kebutuhan pokok dengan harga komoditas termurah? Menyisihkan rupiah demi rupiah untuk membiayai anak sekolah, memilih berjalan kaki demi menghemat ongkos angkutan, hanya mampu membeli sebungkus mie instan dengan kuah melimpah sebagai lauk makan sekeluarga setiap harinya. Apa yang akan terjadi dengan orang – orang yang hanya mampu mengais – ngais serupiah demi serupiah dari pekerjaan yang dijalaninya, yang sudah pasti bukan pegawai negeri atau pegawai kantoran swasta. Mereka memang tidak memiliki mobil mengkilat yang selama ini dijadikan tersangka sebagai dasar pencabutan subsidi BBM, namum merekalah yang paling akan menangis dengan naiknya harga barang – barang kebutuhan pokok. Jika selama ini mereka mampu makan 3 kali sehari, mungkin akhirnya harus berhemat dengan hanya makan 2 kali sehari. Namun bagaimana dengan mereka yang selama ini hanya mampu makan 1 kali sehari? Apakah BLSM sejumlah 150.000 rupiah sebulan mampu mengatasi hal tersebut? Apalagi BLSM yang akan dikucurkan hanya dianggarkan untuk 4 bulan. Bagaimana setelah 4 bulan tersebut? Apakah kenaikan harga BBM hanya akan berlaku selama 4 bulan dan akan kembali normal setelah 4 bulan tersebut?
Namun bagaimana dengan nasib masyarakat yang selama ini hanya mampu membeli barang – barang kebutuhan pokok dengan harga komoditas termurah? Menyisihkan rupiah demi rupiah untuk membiayai anak sekolah, memilih berjalan kaki demi menghemat ongkos angkutan, hanya mampu membeli sebungkus mie instan dengan kuah melimpah sebagai lauk makan sekeluarga setiap harinya. Apa yang akan terjadi dengan orang – orang yang hanya mampu mengais – ngais serupiah demi serupiah dari pekerjaan yang dijalaninya, yang sudah pasti bukan pegawai negeri atau pegawai kantoran swasta. Mereka memang tidak memiliki mobil mengkilat yang selama ini dijadikan tersangka sebagai dasar pencabutan subsidi BBM, namum merekalah yang paling akan menangis dengan naiknya harga barang – barang kebutuhan pokok. Jika selama ini mereka mampu makan 3 kali sehari, mungkin akhirnya harus berhemat dengan hanya makan 2 kali sehari. Namun bagaimana dengan mereka yang selama ini hanya mampu makan 1 kali sehari? Apakah BLSM sejumlah 150.000 rupiah sebulan mampu mengatasi hal tersebut? Apalagi BLSM yang akan dikucurkan hanya dianggarkan untuk 4 bulan. Bagaimana setelah 4 bulan tersebut? Apakah kenaikan harga BBM hanya akan berlaku selama 4 bulan dan akan kembali normal setelah 4 bulan tersebut?
Maka, ramailah aksi protes yang menentang
kenaikan harga BBM tersebut. Tidak hanya dijalanan namun hingga kedalam gedung
parlemen. Polemik kenaikan harga BBM menjadi komoditas hangat dalam tarik
menarik bargaining politik partai – partai berkuasa di parlemen menjelang tahun
PEMILU 2014. Beberapa pihak memposisikan diri berada dipihak rakyat dengan
menyatakan menolak kebijakan pemerintah tersebut, namun tetap kukuh bertahan
sebagai bagian didalam pemerintahan tersebut. Tentu saja ini menimbulkan banyak
kebingungan bagi kalangan yang hanya bertindak sebagai penonton dari panggung
dagelan politik tersebut. Kericuhan menular hingga ditingkat bawah bukan dalam mendukung
atau menolak kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM namun dalam konteks mendukung
atau tidak mendukung kelompok politik yang menyatakan diri menolak kebijakan
pemerintah tersebut. Dibeberapa media sosial, para pendukung partai saling
berdebat membela kebijakan partai masing – masing yang baru sebatas “wacana”
dan belum mengarah pada tindakan nyata dalam merealisasikan penyataan sikap
mereka tersebut. Rakyat kembali diharuskan menonton pihak – pihak yang saling
mencakar untuk kepentingan politik masing – masing sambil mengencangkan ikat
pinggang untuk meredam lapar akibat dari penghematan.
Mencermati hal tersebut, sudah jelaslah
bahwa bangsa kita sedang berada dalam titik nadir. Pemerintah dan rakyat sama –
sama sedang berasa dalam kondisi krisis yang semakin mengkritis. Jika saja
pemerintah bisa tegas dalam mengambil kebijakan dan tidak termangun dalam
kebimbangan menimbang – nimbang untung rugi poltik dalam memutuskan suatu
kebijakan, maka polemik tidak akan menyeret masyarakat untuk ikut terlibat
dalam pusaran tarik – menarik kepentingan bargaining politik dalam konteks
subsidi BBM. Jika memang pemerintah memandang bahwa subsidi BBM ini telah
membebani APBN Negara dan BLSM benar – benar sebagai sebuah solusi dalam
mengobati dampak dari kenaikan BBM, bukan hanya sekedar balsem peredam nyeri
dari dampak kenaikan BBM, maka segera putuskanlah untuk naik. Karena semakin
ditunda dan diulur kebijakan tersebut, maka semakin beratlah membebani APBN Negara.
Bagi para kelompok pelaku politik, jika memang mereka bertindak sebagai wakil
rakyat yang mengutamakan kepentingan rakyat, alangkah baiknya jika sikap mereka
dinyatakan dengan sebuah tindakan bukan hanya sebatas wacana yang dilemparkan
untuk kepentingan tertentu. Bagi semua pihak yang menentang kenaikan BBM atas
nama rakyat, alangkah baiknya jika aksi protes tersebut dapat berjalan dengan
tertib dan damai sehingga tidak kembali membawa kerugian bagi rakyat sendiri. Karena
setiap fasilitas umum dan fasilitas Negara, dibiayai dengan pajak yang
dibayarkan oleh rakyat. Sumber keuangan negara adalah dari rakyat. Setiap pengrusakan
yang terjadi harus ditanggung oleh rakyat sendiri.
Pemerintah, sebagai pihak yang berwenang
dalam mengatur pengelolaan BBM sebagai hajat hidup orang banyak, diharapkan bisa
lebih bijaksana dalam mengambil sebuah kebijakan yang berhubungan langsung
dengan kebutuhan dasar mayoritas masyarakat. Karena kalangan bermobil mengkilat
tidak akan ikut turun kejalan memprotes kenaikan harga BBM tersebut. Karena mereka
masih cukup memiliki kemampuan ekonomi untuk emngatasi hal tersebut. Semoga semua
pihak dapat lebih bijaksana dan berfikir secara obyektif dalam menyingkapi
masalah ini dengan mengutamakan kepentingan rakyat yang sebenar –benarnya rakyat.
Tidak hanya rakyat dari golongan tertentu.